Sabtu, 28 Januari 2012

Cinta Sang Matahari

     Siang itu ia mengunjungiku sambil tersenyum-senyum. Senang sekali tampaknya sahabatku yang satu ini. Menang lotrekah? Ha, ia bukan tipe suka mengundi nasib seperti itu. Atau ujian fisikanya mendapat nilai sempurna? Sering ia mengeluh karena nilainya tak pernah menembus angka delapan. Memenuhi KKM saja sudah untung, katanya selalu. "Sore. Sore yang cerah," sapanya. Padahal seekor kucingpun tahu langit akan memuntahkan isinya tak lama lagi. Dia memandangiku, tersenyum lagi. Oh, senyum yang malu-malu...dan semburta merah muda di pipinya memberitahuku sesuatu. Dia jatuh cinta. Ehm, siapa gadis beruntung yang mampu membuat sang gunung es mencair? Well, mungkin tidak sedingin itu. Dia cukup hangat pada teman-teman perempuannya. Tetapi sungguh, tak pernah sekalipun ia menaruh hati pada seorang gadispun. Kecuali hari ini, mungkin. 
     "Menurutmu bagaimana? Dia menarik, bukan? Aku...aku harus bagaimana?" tanyanya seusai mencurahkan isi hatinya padaku. "Aku juga tak terlalu mengenalnya," jawabku. "Bukankah kalian satu ekstrakulikuler?" "Ah, tapi ada sekitar limapuluh siswa di sana. Lagi pula,ekstra itu baru mulai dua minggu yang lalu," jawabku. Sekilas kutangkap raut kecewa pada wajahnya. Hanya sepersekian detik. Kemudian wajahnya kembali cerah. Just your smile and the rain is gone.Aku tersenyum sendiri teringat lagu itu. Sangat sesuai dengan sore ini kurasa. Ya, langit hanya sebentar hujan. Tepat saat ia mulai bercerita tentang gadis yang mengguncangkan hatinya, kemudian hujan benar-benar berhenti saat ia selesai bercerita, meskipun mendung masih tebal. Setelah mencicipi molen buatanku, dia pulang. Wajahnya sangat cerah, secerah matahari pagi. 
     Regina, nama gadis itu Regina. Gadis ayu nan lembut. Tubuh kurus jangkungnya semakin menonjolkan sisi lemah-lembutnya. Kami sama-sama tertarik dengan ilmu masa-memasak, karena itulah ekstrakulikuler yang kami ambilpun sama. Ekstra Boga. Bimbingan seorang kepala koki terkenal di kota kami. Sore itu, aku mencoba mendekatinya. "Hai, bagaimana panekukmu?" sapaku. Mulanya ia agak terkejut. Kemudian senyumnya merekah. Manis. "Halo, lumayan kukira. Lihat. Bagaimana punyamu?" katanya seraya melongok ke piringku. Selisih dua meja dari tempatnya. "Hm, sepertinya lezat, boleh kucoba?" "Tentu saja." Kuamati sampai ia benar-benar menghabiskan sebuah panekukku. Konon, kita dapat melihat perilaku seorang gadis saat ia makan. Nyaris tak ada remah sisa panekuk di mulutnya. Mengunyahnyapun lama. Mungkin tepat tiga puluh tiga kali, pikirku iseng. "Benar-benar sempurna luar dalam. Kau belummembuat sausnya, ya?" aku hanya mengangkat bahu, tersenyum, dan mengucapkan terima kasih padanya. Diapun ganti menawariku panekuknya. Kurasa aku punya sedikit cerita untuk temanku yang sedang jatuh cinta. 
     Malam itu, sambil mengerjakan PR Matematka, mulutnya tak henti-hentinya bertanya tentang Regina. Mulai dari pakaian yang ia kenakan, caranya berbicara, berjalan, hingga rasa panekuk buatannya. Kujawab sebisaku : gadis modis, bicaranya halus, panekuknya enak, bla...bla...bla.... "Hah, aku tak salah pilih ,kan?" tersenyum-senyum dan matanya menerwang jauh. Entah apa yang dipikirkannya. Malam itu, ia hanya menyelesaikan lima dari delapan nomor. Ya sudahlah, saat jatuh cinta apapun bisa terjadi. Sok tahu, kau! Tertarik pada laki-laki saja belumpernah, sudah sok mengomentari! Batinku bersuara. Eh, benarkah aku belum pernah tertarik pada seorang pun?
     Tepat seminggu setelah wajahnya bersinar bagai matahari pagi saat menceritakan Regina. Kini wajahnya bagai diliputi mendung tebal. “Salahku, salahku. Pengecut! Pecundang!” Wah, wah…dia begitu marah. Bukan. Lebih terlihat kecewa dan sedih. Hm, marah, kecewa, menyesal, dan sedih, tepatnya. Kubiarkan dia sejenak. Kubuatkan dia secangkir teh dan kubawakan hasil kegiatan ekstraku, brownis. Saat aku menemuinya kembali, keadaannya lebih baik. Dia terdiam dan memandangiku. Arah matanya turun ke baki yang kubawa. Mendung di wajahnya sedikit menghilang. Setelah menghirup teh, dikunyahnya perlahan brownis itu. Menikmati sekali sepertinya. Heran, sering dia sebagai pencicip kue-kue buatanku, tetapi badannya seakan hanya bertambah tinggi. Lain denganku, mencium aromanya saja mampu menaikkan beratku beberapa kilo. Oke, tidak separah itu, meskipun tubuhku tidak langsing, tetapi menurut BMI, beratku masih ideal. “Hah…” hanya itu yang ia ucapkan. Menarik nafas dalam-dalam kemudian tersenyum. “Enak sekali. Itadakimatsu,” katanya sambil tersenyum lebar. Hm, terbukti coklat mampu menetralkan rasa sedih. Sambil menikmati brownis keduanya, ia mulai bercerita.
Regina. Ternyata teman sebangkunya adalah tunangan Regina. Hah?! Masih SMA sudah dijodohkan…Wow! Luar biasa! Dia melanjutkan, saat hendak meminta tolong Caesar, teman sebangkunya itu, Caesar mengeluarkan undangan. Undangan pertunangan, tepatnya. Caesar berpesan agar dia datang dan merahasiakannya. “ Hanya beberapa teman yang kuundang karena sebenarnya ini acara keluarga. Tetapi ayah dan bunda mengizinkanku mengundang beberapa. Jangan lupa datang ya!” ucapnya menirukan Caesar. Aku hampir tak bisa menahan tawa. Mimik mukanya sangat lucu, sangat kontras dengan kesedihannya beberapa saat yang lalu. Dia melanjutkan lagi,” Ya sudahlah. Mungkin memang bukan dia.” Setelah menghabiskan tehnya, ia berlalu.
Setahun berlalu. Ia masih bersinar, meski tak sekuat saat dia…apakah aku tak salah lihat? Sinar itu kuat lagi…dan semburat di pipinya! Mati-matian dia menyembunyikannya dariku. “Percuma. Wajahmu terlalu transparan. Nah, siapa dia?” kataku menggodanya. Sambil terus tersipu, dia bercerita. “Aku bertemu dengannya di “Warung Ayam Bakar Wong Solo”. Kau tahu kan, band kami mendapat juara tiga se-provinsi. Caesar langsung mentraktir kami. Di sanalah aku bertemu dengannya. Pesona yang luar biasa. Kuharap kau segera bertemu dengannya. Caesar ternyata mengenalnya. Dia anak teman kolega ayahnya. Dari sana aku mengenalnya. Namanya Mona. Mona Antosianita. Kau tahu, dia masih kelas sembilan! Cantik dan suaranya luar biasa. Saat itu dia hanya bertiga bersama temannya. Lalu Caesar mengajaknya bergabung. Sambil menunggu pesanan, dia bernyanyi diiringi gitar Caesar. Indah sekali…serasa di taman dewa-dewi. Dia juga tertarik padaku. Lihat! Ini nomornya. Ehm, mungkin aku akan menelponnya malam ini.” Good luck! Pesanku padanya dalam hati. Semoga bukan kekecewaan akhirnya, Sobat.
Sebulan kemudian, dia mengajak Mona ke rumahku. Dia memperkenalkannya sebagai “gadisku”. Ya, Saudara-Saudara! Pacar, tepatnya. Bahasanya terkadang sok puitis, memang. Dia manis, kurasa. Feminin. Untuk remaja seusianya, dia tergolong modis dan cantik. Selera berpakaiannya bagus. Sayang, agak “berani”. Kami mengobrol cukup lama. Sesekali dia memuji kue yang kusuguhkan. Ups, mataku yang terlalu sensitif atau bagaimana? Sedikit kilat rasa tak suka (atau cemburu) dari mata gadis itu. Ya sudahlah. Memangnya dia mau apa?
Tiga bulan lebih tiga hari kemudian, mendung kembali menyelimuti wajah sobatku. Kusuruh dia segera memakan coklat yang kubuat sebelum dia bercerita macam-macam. Ya, seperti yang kuduga. Dia putus dengan “gadisnya”. Dia sendiri kurang tahu alasannya. Sempat ada kabar yang sampai padanya, Mona kembali ke pacarnya yang lama. “Aku hanya pelariannya,” katanya sedih. Wah…SMP, lho! Hm…begitu. Dan sore itu menjadi sore terakhir dia membicarakan tentang gadis-gadis yang disukainya. Kami akan mengahadapi Ujian Semester 2 di kelas XI.IPA ini. Di kelas XII kelak, sangatlah tidak bijaksana memikirkan hal lain selain ujian nasional, tes masuk PTN, bimbel, try out, dan segala yang berhubungan dengan semua itu.
Alhamdulillah, semua berjalan lancar. Kami lulus dengan nilai memuaskan dan diterima di PTN idaman. Kami sempat membuat syukuran kecil sebelum akhirnya saling berpisah untuk meneruskan sekolah kami. Dia di Yogyakarta dan aku di Semarang.
Tiga tahun kemudian….
Aku baru saja selesai masa UTS dan pulang ke rumah. Belum sempat aku menghilangkan lelah, pintu depan diketuk. Dia! Wajahnya bersinar seperti matahari pagi, namun kali ini lebih kuat…dan matang. Oh, aku merindukan senyum itu. Hampir-hampir aku hendak memeluknya, namun hati kecilku mencegahnya, bukan muhrim (tarbiyah dari murobbi itu membekas kuat ternyata). “Masuklah,” kataku, ”Kau bahagia sekali, sepertinya.” Dia menyodorkan undangan berwarna biru langit (yang merupakan warna kesukaannya). “Datang, ya. Aku sudah menemukan gadisku yang sebenarnya.” Cerita terus mengalir dari mulutnnya. Saat kuliah, dia mengikuti berbagai kajian dan semakin memantapkan keimanannya, hingga pembimbingnya menawarinya pernikahan. Melalui perantaraan pembimbingnya, dia berkenalan dengan gadisnya ini. Seorang gadis berjilbab cantik, sederhana yang mampu menaklukkan hatinya. “Aku tak jatuh cinta padanya sebelum aku mengkhitbahnya. Luar biasa!”
Begitulah. Akhir indah cinta sang matahari. Semua niat baik pasti ada jalan, seorang bijak bertutur. Undangan biru langit itu belum kusentuh. Aku berbahagia dia telah menemukan “tulang rusuknya”. Tetapi, mengapa tiba-tiba ada yang kosong di hatiku?

SELESAI

nb : ahgahgaghh , mungkin nama2 di atas memang aneh...niru konsepnya JK Rowling, setiap nama ada maknanya :)

     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar